Minggu, 20 Januari 2013

Sequel mini fiksi "Menemukannya (Kembali)"



           Jauh sebelum aku ada disini, dikota ini, Innsbruck, Austria. Aku ingat hari itu, hari dimana Tuhan mempertemukanku dengannya. saat itu rintik hujan dengan centilnya menari membasahi kerudung merah mudaku, setelah susah payah menyeruak rinai hujan dan menghindari kubangan air, akhirnya aku sampai juga di stasiun kereta dekat kampusku. Setibanya di stasiun, aku malah harus menerima kabar bahwa saat itu, kabel listrik yang mengaliri pasokan listrik Kereta Rel Listrik atau KRL putus akibat diterpa angin kencang yang datang bersamaan dengan hujan lebat, alhasil aku yang sudah terlanjur basah kuyup, memutar haluan mencari kendaraan alternatif lain untuk pulang kerumah. Nasib baik hari itu aku sedang tidak sendirian, ada Rara yang memang sudah terbiasa naik kendaraan umum lainnya selain kereta. Akhirnya aku dan Rara pun memutuskan untuk beralih naik bis dan darisanalah semuanya bermula, pertemuan itu. Sebelum sempat keluar stasiun menuju terminal bis, aku berpapasan dengannya, laki-laki yang pada akhirnya aku tahu bahwa ‘dia ‘ adalah sahabat lama Rara. Kebetulan rumahnya satu arah dengan rumahku dan Rara, maka jadilah hari itu kami bertiga, aku, Rara dan ‘dia’ pulang bersama dengan menaiki bis. Sepanjang perjalanan aku banyak bertukar cerita dengannya, sementara Rara yang berdiri sedikit jauh dari aku dan ‘dia’, terlihat sangat lelah, jadi Rara lebih memilih untuk diam dan sedikit-sedikit memejamkan matanya ketimbang mengobrol denganku dan sahabat lamanya itu. Entah ada apa denganku saat itu, ketika mata dengan bola mata coklat pekatnya begitu hangat menerima kehadiranku dan senyum yang selalu mengembang di wajahnya setiap kali mendengarku bercerita, sungguh membuatku merasakan sesuatu, yang aku sendiri tidak dapat menjelaskannya.
            Terlepas dari pertemuanku dengannya dihari itu, aku juga banyak mengetahui tentang dirinya dari Rara, sahabatku yang sekaligus sahabat lamanya. Rara mengatakan padaku kalau laki-laki itu, sahabat lamanya yang sempurna bisa membuat pipiku memerah jika aku mendengar namanya disebut, sangatlah pintar dan cerdas. Rara juga bilang kalau ‘dia’ salah satu mahasiswa jurusan arsitektur dikampusku dan sebenarnya diakhir semester dua dia juga mendapat kesempatan yang sama denganku untuk memperoleh beasiswa unggulan kampusku, bedanya dia sukses lolos semua tes beasiswa itu, sementara aku tidak. tapi lolos tes bukan berarti membulatkan keputusannya untuk mengambil beasiswa tersebut, dia justru malah mengundurkan diri. begitulah hidup, terkadang disaat kita sangat menginginkan sesuatu, sesuatu yang kita inginkan tersebut malah tidak bisa kita gapai atau kita dapatkan, namun sebaliknya, kadang kala dalam hidup kita ada juga seseorang yang tidak begitu menginginkan sesuatu yang teramat kita inginkan itu, tapi justru dialah yang berhasil menggapai atau mendapatkannya. Marah? Yah itu pasti yang kalian rasakan pertama kali, menganggap seseorang itu tidak bersyukur dengan apa yang sudah ia dapatkan, hmm padahal jika kita mau sedikit berpikir, tidak semua apa yang kita anggap baik juga baik menurut Tuhan, ada masanya dimana yang menurut kita buruk adalah yang terbaik untuk kita, karena sungguh hanya Tuhanlah yang maha mengetahui.
            Sejak pertemuanku dengannya di hari itu, aku jadi sering sekali bertemu dengannya, padahal sebelum hari pertemuan itu, aku tidak pernah sama sekali melihat wajahnya dikampus, entah karena aku yang tidak menyadarinya atau entah apakah ada skenario tertentu yang sedang Tuhan siapkan dibalik itu semua. Yang jelas pertemuanku di stasiun dengannya ketika angin dan hujan lebat sukses memutuskan kabel aliran listrik kereta, sempurna membuat aku dan ‘dia’ semakin dekat. Aku dan ‘dia’ jadi sering pulang pergi bersama ketika kuliah, tidak hanya itu saja, akupun banyak belajar darinya. ‘dia’, laki-laki yang tidak sengaja dipertemukan denganku, ternyata selain berstatus sebagai mahasiswa, juga berstatus sebagai seorang freelancer di sebuah perusahaan besar Ibu kota. Hebat?yaa sangat hebat, ditengah kesibukannya kuliah, dia masih bisa membagi waktunya untuk bekerja, demi menutupi biaya kuliahnya. Sebenarnya dia tidak berasal dari keluarga sederhana atau malah menengah bawah, melainkan sebaliknya. Ayahnya seorang pengusaha pemilik toko meubel terbesar dikotaku, sementara ibunya adalah pemilik butik yang menjadi salah satu langganan para artis Ibu kota. Tadinya aku sempat heran, kenapa ‘dia’ mau bersusah payah bekerja untuk membiayai kuliahnya, padahal jika dia mau, orang tuanya tidak hanya sanggup untuk membiayai kuliahnya tapi juga sanggup membelikannya mobil mewah keluaran terbaru. Hanya satu jawabannya untuk itu semua “Aku ingin menaklukan dunia, bukan dunia yang menaklukan aku”. Yaa jika dia menyerah dengan gelimang harta yang dimiliki kedua orang tuanya, maka dunia sempurna menaklukannya.
            Bukan itu saja pelajaran yang bisa aku dapatkan darinya, karena aku juga dapat belajar tentang bagaimana menghargai seseorang dari dirinya. Kau tahu?sejak aku bertemu dengannya tidak pernah sedikitpun dia menatapku tajam, layaknya pandangan laki-laki yang sedang dekat dengan seorang perempuan, aku hanya bisa tahu bahwa dia menerima kehadiranku dengan hangat dari sedikit tatapan matanya ketika tersenyum padaku, tatapan mata yang bahkan kurang dari lima detik. Setelah itu dia seperti enggan menatap mataku lama-lama. Belakangan aku tahu dari Rania, itu ‘dia’ lakukan demi menjaga kesucian para perempuan yang ia kenal ataupun tidak dari pandangan nista, pandangan yang tidak seharusnya ada. Soal kenapa dia selalu menawariku untuk pulang atau pergi kuliah bersama, itu tidak lebih hanya karena ia juga ingin menjagaku, karena memang jadwal kuliah yang mengharuskanku berangkat pagi dan pulang malam, membuatku rentan mengalami tindak kejahatan. Setelah mengetahui lebih banyak tentang ‘dia’, entah kenapa perasaan itu justru semakin kuat aku rasakan, perasaan yang sempurna membuat dadaku sesak setiap kali bertemu dengannya. Tuhan, sungguh jangan biarkan perasaan ini tumbuh sebelum waktunya.
            Tidak terasa hampir enam semester aku lalui. Aku ingat ketika itu aku mengikuti seleksi beasiswa kembali, kali ini seleksi beasiswa yang diadakan oleh kedutaan luar negeri Indonesia, saat itu aku mengikuti beasiswa tersebut berdua dengan ‘dia’, ‘dia’ yang selama hampir enam semester selalu ada untuk memberiku semangat dan pelajaran. Di hari itu akhirnya aku pun tahu, kenapa dulu dia mengundurkan diri dari beasiswa unggulan kampusku, itu semua karena dia ingin fokus pada beasiswa kedutaan luar negeri itu, karena mimpinya memanglah menuntut ilmu di salah satu universitas favorit di Melbourne, Australia, Monash University. Sebenarnya aku sedikit sedih ketika mengetahuinya, bagaimana tidak? aku akan terpisahkan oleh jarak yang sangat jauh dengannya jika kami sama-sama lolos seleksi beasiswa itu, karena aku memilih untuk melanjutkan kuliahku dengan beasiswa tersebut di Innsbruck, Austria. Cara kami dalam menuntut ilmu boleh berbeda, dia memilih arsitektur sementara aku psikologi, dia memilih Australia sedangkan aku Austria, dia memilih Monash University dan aku Universitat Innsbruck, tapi aku juga ‘dia’ punya satu tujuan yang sama yaitu bisa memberikan ilmu kami untuk menumbuhkan semangat dan kehidupan yang lebih baik untuk saudara-saudara kami di gaza, Palestina. Walaupun lagi-lagi dengan cara yang berbeda, jika dia ingin membangun kamp pengungsian yang jauh lebih layak dengan sistem sanitasi yang baik dan paling tidak bisa membangun sebuah Rumah Sakit sederhana disana, aku ingin setidaknya bisa menenmani para anak-anak yang telah kehilangan ayah, ibu, sudara atau bahkan bagian dari tubuh mereka untuk sekedar menumbuhkan motivasi mereka. Aku tahu mereka memanglah sangat kuat, tapi nyatanya mereka masihlah anak-anak, dimana tidak seharusnya hal-hal keji dan mengerikan sudah harus mereka hadapi dan telan didalam memori mereka. Aku ingin berbagi pada mereka, membacakan mereka dongeng sebelum tidur, mengajak mereka bermain dan tentunya bersama-sama melantunkan ayat suci Al-Qur’an. Sungguh semoga Tuhan memudahkan kami.
            Setelah aku selesai menjalani tes beasiswa, aku mampir sebentar ke kostan Rara untuk sekedar sedikit bercerita. Ketika itu lagi-lagi aku tahu tentang ‘dia’ yang tidak aku ketahui tapi Rara ketahui. Saat semester satu dulu, ‘dia’ pernah mengatakan pada Rara bahwa ‘dia’ menyukai teman sekelasnya, tapi ‘dia’ belum berani untuk mengutarakan perasaannya, meski dia tahu gadis itu juga menyukainya, alasannya selain karena dia tidak ingin pacaran, juga karena gadis yang ‘dia’ sukai itu belumlah berhijab, menurutnya hijab adalah usaha seorang wanita untuk menjaga kesuciannya, maka dari itu dia ingin gadis yang dia sukai itu menetapkan hatinya dulu untuk berhijab, baru memantapkan perasaannya untuk ‘dia’. Jujur seketika itu hatiku seperti dihujami ratusan jarum kecil, begitu sakit. Hari itupun aku bertanya dalam hati “Apakah hingga kini gadis itu masih ada dihatinya?”.
            Waktu berjalan begitu cepat, genap delapan semester berhasil aku lalui. Aku lulus dengan nilai yang amat memuaskan, begitupun dengan ‘dia’. Tepat satu hari setelah aku dan ‘dia’ di wisuda, kami menerima kiriman amplop berwarna coklat dengan garis berwarna merah, putih dan biru di pinggirnya. Yaa amplop itu adalah surat yang menyatakan bahwa kami berhasil lolos seleksi beasiswa dan kami sukses mendapatkan beasiswa yang kami inginkan. Sebenarnya ketika itu aku tidak tahu apakah aku harus senang atau tidak, karena itu berarti hari perpisahanku dengnnya akan semakin dekat. Tapi karena impianku adalah bisa menuntut ilmu dengan beasiswa yang aku dapatkan karena usahaku sendiri, maka bulatlah pikiranku untuk sempurna hanya memikirkan hal yang dapat aku rengkuh dimasa masa depan nanti, bukan memikirkan ‘dia’ dan perasaanku yang masih belum menemui kejelasan. Karena hidupku menyangkut orang banyak, bukan hanya menyangkut hati atau perasaanku padanya saja. Dan perpisahan itupun sempurna terjadi. Burung besi membawaku terbang ke Austria, sementara ‘dia’ dibawa terbang ke Australia.
            Tidak terasa dua tahun sudah aku jalani, sarjana magisterpun berhasil aku sandang di Innsbruck. Selama dua tahun itu pula aku sukses dibuat kehilangan kontak dengan ‘dia’, tapi lagi-lagi aku berpikir, untuk apa kini aku memikirkannya lagi, untuk apa kini aku mengingat kenangan itu lagi, bukankah belum tentu kini dia sedang memikirkan dan mengingatku yang sedari dulu kami bertemu hingga sekarang mungkin aku masih menjadi seorang sahabat baginya, tidak ada perasaan lebih darinya untukku. Jika kini aku memikirkannyapun, maka itu hanya sebatas perasaan seorang sahabat yang mengkhawatirkan keadaan sahabatnya yang jauh disana, karena biar bagaimanapun kami pernah berjuang bersama untuk menggapai mimpi kami masing-masing. Dua tahun tanpa kabar, bukan berarti aku berhenti melanjutkan hidup, sebab ini kehidupan bukanlah sebuah sinetron. Lima bulan setelah pulang ke Indonesia aku memutuskan untuk membangun sebuah klinik psikologi, ini tidak lepas dari backgroundku yang memang seorang sarjana psikologi dengan sub jurusan Clinical Child Pychology. Sukses berkarir di klinik tidak lantas membuatku lupa dengan impian besarku untuk bisa ke Gaza, Palestina. Setahun berkarir, akupun memutuskan untuk pergi menjadi relawan ke Gaza, dengan bekal ilmu yang kupunya aku berharap Tuhan selalu menyertai dan melindungiku.
            Hari itu akhirnya aku sampai di gaza, setelah sebelumnya aku melewati perjalanan yang terasa amat panjang dan melelahkan, sebab bukan hanya gelombang laut atau cuaca buruk yang aku temui diperjalanan, tapi juga gelombang ancaman dan todongan senjata api. Terlepas dari itu semua, aku bersyukur karena hari itu Tuhan mengizinkanku untuk menginjakan kaki di Gaza. Akupun segera bertindak cepat, ketika itu aku diberi tugas menjaga anak-anak di salah satu bangsal Rumah Sakit Gaza yang saat itu memang sedang banyak mendapat gempuran. Sampai akhirnya kami para relawan dari berbagai negara sepakat untuk memindahkan para anak-anak tersebut ke tempat yang lebih aman, keluar rumah sakit. Dengan sigap aku mengevakuasi anak-anak dengan bermacam kondisi, mulai dari yang kehilangan kaki hingga yang kehilangan kedua matanya akibat serangan membabi buta. Hari itu aku sempat lega karena telah berhasil mengevakuasi seluruh anak-anak ketempat yang jauh lebih aman, tapi seketika semuanya berubah saat kulihat kedua teman relawanku memegangi erat tubuh seorang anak perempuan berusia sekitar tujuh thaunan yang terus menjerit histeris karena ternyata boneka kesayangannya, boneka peninggalan Almarhumah ibunya terjatuh tepat dipintu keluar rumah sakit. Tanpa pikir panjang akupun berlari secepat mungkin menuju rumah sakit, sambil berharap lariku akan jauh lebih cepat ketimbang rudal yang akan menghujam rumah sakit tersebut. Namun apa daya, rudal biadab itu sempurna mendahuluiku saat aku sudah tepat kira-kira tiga meter dari rumah sakit. Splassshhh!!!. Seketika tubuhku terasa remuk, kepalaku seperti terkoyak, bau mesiu menyengat penciumanku, dadaku sesak, pengelihatanku kabur. Saat itu aku memohon agar Tuhan menguatkanku, hingga datang seorang laki-laki dengan masker yang menutupi sebagian wajahnya menghampiriku, menggendong tubuh lemahku. Sungguh meski pengelihatanku saat itu kabur, tapi aku lihat dan aku ingat, laki-laki itu memiliki mata yang sama dengan ‘dia’, bola mata coklat besar yang terlihat begitu hangat. Tuhan apakah mungkin itu ‘dia’?. Sekejap setelah itu semua gelap.
            Beberapa jam kemudian aku tersadar. Tubuhku teramat sakit bila digerakan terutama pada bagian tangan sebelah kiri. Dokter mengatakan hampir seluruh tubuhku dipenuhi serpihan material bangunan akibat ledakan rudal dan yang paling parah terkena adalah tangan sebelah kiri, bahkan dokter nyaris saja mengamputasinya, namun aku bernasib baik, karena serpihan itu tak sampai masuk kedalam kulit bagian dermisku, luka yang adapun tidak sampai menginfeksi sehingga lukaku meski parah, masih bisa untuk diobati. Aku lega, sungguh sangat lega. Tapi lagi-lagi aku teringat mata itu, siapa sebenarnya yang ada dibalik masker itu, akupun berharap semoga Tuhan menunjukan jalan bagiku.
            Menjalani perawatan di kamp pengungsian membuatku bosan dan merasa tidak berguna, hanya berbaring ditempat tidur tanpa melakukan apapun, sungguh bukan itu tujuanku berada disini saat itu. Akhirnya setelah seminggu menjalani perawatan, aku meminta perawat membantuku duduk di kursi roda, akupun berkeliling dan bermain bersama anak-anak dipengungsian, membantu menyiapkan makanan di dapur umum dan membagikannnya pada pengungsi, seolah lupa dengan kejadian satu minggu yang lalu. Ketika semua selesai, sehabis Isya aku membawa tubuhku dengan kursi roda ke tepi tebing dekat tenda-tenda pengungsian, perlahan aku hirup udara malam dan berharap semua akan baik-baik saja, aku yakin sepanjang niat kita baik, maka akan selalu ada jalan menuju seribu kemudahan. Malam itu aku ingat, sangat ingat, ketika teman relawanku mengatakan ada seorang arsitek dari Indonesia yang akan membangun kamp pengungsian baru, temanku juga mengatakan bahwa laki-laki itulah yang sudah menolongku dari ledakan rudal di rumah sakit, sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah barat, agak sedikit jauh dari pengungsian, tepat dimana seseorang yang ia maksud berada. Laki-laki dengan celana coklat serta baju putih lengkap dengan rompi safari coklatnya.
            Malam itu tanpa kuduga, situasi kembali mencekam, rudal-rudal, bom dan lainnya semakin hingar-bingar membalut kegelapan malam itu. Jelas yaa sangat jelas, tepat ketika sebuah bom membelah gelapnya langit malam, semburat cahayanya sempurna memperlihatkan wajah laki-laki itu, wajah laki-laki dimana delapan tahun yang lalu sempurna menyeruak dalam hatiku. Ingin aku menyapanya, namun belum sempat aku menyapanya, teman relawanku dengan sigap mendorong kursi rodaku menjauh darinya. “Dasar bodoh, apa kali ini kau sudah benar-benar ingin mati ha?!”. Ucapnya dengan nada tinggi, karena memang rudal-rudal itu semakin mengincar kami di pengungsian. Akupun kembali kehilangannya. Sampai semburat cahaya lagi-lagi memperlihatkan keberadaannya, meski kali itu aku hanya bisa melihat sebatas punggung berbalut rompi safari coklatnya saja, karena memang ‘dia’  berada jauh di depanku saat itu. ‘dia’ bukannya lari menyelamatkan diri, justru menentang maut dengan menghampiri pusat terjadinya ledakan akibat rudal. Akupun berusaha memanggil namanya sekeras mungkin yang aku bisa, tapi terlambat. Splassshhh!! Semburat cahaya kembali muncul, sepersekian detik saja, rudal menghantam daerah dekat tubuhnya berada. Tuhan lindungi ‘dia’, selamatkan ‘dia’, sungguh Tuhan aku sanggup dengan rasa sakit disekujur tubuhku ini, tapi aku tidak akan sanggup jika harus melihat tubuhnya terkulai kaku penuh luka dan detak jantungnya tak dapat lagi kudengar justru dihari ketika aku menemukannya kembali, Muas Albany.
           
           
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar