Minggu, 23 Desember 2012

Mini FIKSI "Merakit Mimpi (kembali)"




Hari ini aku sempurna dibuat sibuk menatap butiran salju yang mengembun di kaca jendela kampusku, Universitat Innsbruck. Sulit untukku mempercayainya, ini bagiku bagaikan sebuah mimpi. Saking tak percayanya aku merasa sangat takut, takut jika semua ini memang hanyalah efek ilusi dari mimpi besarku. Dari dulu hampir semua orang yang mengenalku menjuluki aku si “pemimpi besar”, yaa si pemimpi yang hanya bisa terus bermimpi tanpa bisa mewujudkan mimpinya menjadi sebuah kenyataan. Menyedihkan memang, aku berasa menjadi pecundang sejati.
Memiliki label “pemimpi besar” atau merasa menjadi pecundang sejati, itu bukan berarti aku hidup tanpa perjuangan, hanya bermalas-malasan lalu berharap hidupku akan berubah jadi indah dengan sendirinya, berharap dunia terbalik dan menjadikanku gadis tersukses dengan segudang prestasi sejagad raya. Bukan, sungguh bukan begitu hari-hari dihidupku. Memiliki sebuah mimpi bagiku merupakan satu hal yang istimewa, kenapa istimewa? Sederhana saja jawabannya karena dengan bermimpi aku merasa hidup. Sesederhana ketika kalian flu, mendapatkan sedikit saja ruang untuk menghirup udara, maka udara itu akan sangat membantu untuk nafas kalian yang berikutnya meski hidung akan memerah, tapi setidaknya itu sudah cukup memicu kalian untuk menghirup udara yang lebih banyak lagi. Begitulah mimpi, ketika kalian merasa terjerembab dalam posisi paling bawah, saat dirasa tak ada lagi yang dapat mengerti apa yang kalian rasakan, ketika merasa dunia semakin nyata menunjukan kerikil kepedihan dan detik dimana kita meyakini bahwa semua orang telah berubah, berubah menjauh. maka disanalah mimpi itu ada. Membuat kita mampu merengkuh banyak hal dikemudian hari.
Keyakinan akan  mimpi besarku membuat aku yang hanyalah seorang gadis pemalu, menjadi seorang gadis yang penuh semangat dengan bendera optimisme dalam hati. Tubuhku yang kini aku bawa menginjak tanah di negeri orang sungguh bukan karena aku pintar, cerdas atau karena hanya kebetulan beruntung. Ini sempurna kebaikan Tuhan untukku atas mimpi-mimpi dan tentunya “usaha besar”ku . sebenarnya semua berawal dari impianku untuk bisa memdapatkan beasiswa yang memang sejak semester pertama aku masuk kuliah, sudah sangat aku inginkan. Dari awal masuk kuliah aku mati-matian belajar demi mengejar IP minimal 3,75 saat naik ke tingkat dua yang menjadi salah satu syarat untuk memperoleh beasiswa itu. Hal baik pun terjadi, buah dari belajar mati-matianku, IPku bulat 3,75. Aku sukses dipanggil untuk menjalani serangkaian tes beasiswa karena memang yang Ipnya 3,75 bukan hanya satu atau dua orang saja, sedangkan kuota yang ada untuk beasiswa itu hanya 10 kursi. Sukses?yaa aku sukses dipanggil, tapi tidak ketika tes TOEFL.
TOEFL dibawah standar seolah menjadi malapetaka untukku, perjuanganku, begadangku selamana ini, semua terasa sia-sia. Tiba-tiba aku tersadar, itulah buah kesombonganku, tak pernah mau jika disusruh ikut kursus TOEFL dengan alasan “lelah”. Sungguh mimpi itu sesungguhnya tak mengenal lelah. Sepersekian detik setelah menyadari hal bodoh yang menggugurkan mimpiku, aku pun meneteskan bulir air yang mebulat tepat diatas meja belajarku. Aku akui saat itu semangatku runtuh, melangkahkan kaki hanya karena aku manusia, tanpa mengerti untuk apa aku melangkah. Begitu seterusnya hingga setengah semester aku lalui di semester tiga.
Pagi itu aku ingat, amat sangat ingat setelah sebelumnya aku harus susah payah menuju kampus, dua jam berkutat dengan macet. Untuk pertama kalinya seorang profesor sekaligus guru besar mengajar dikelasku, profesor bertubuh tegap dengan sedikit uban yang menyembul di sela-sela rambut hitamnya itu sempurna terlihat bersahabat, terlebih senyumnya begitu hangat. Tapi bukan itu, bukan itu yang lantas membuatku mengagumi sosoknya sebagai profesor sekaligus guru besar, malainkan semangat serta kecerdasannya dalam memandang dunia. Dulu beliau sama sepertiku, hanyalah seorang mahasiswa biasa, yang membedakannya dengan mahasiswa lain adalah mimpi dan semangat yang ia miliki. Tiga jam perkuliahan benar-benar aku telan matang-matang lalu kucerna baik-baik kedalam otakku, banyak yang beliau ceritakan terlebih mengenai salah satu universitas ternama di austria, universitat innsbruck. Keindahan gunung alpen yang menjulang cantik sebagai latar kampus itu, yang beliau ceritakan sekaligus gambarkan melalui foto, sungguh membuat hatiku bergetar, hingga semburat mimpi mulai terbit “Kelak aku yang akan ada disana”. Tak lama selongsong kata-kata beliau pun menjadi sangat amat melekat dalam otakku “Anything is Posible”. Itulah kunci mimpiku berikutnya. Di hari itu juga aku memohon, memohon pada Tuhan agar mengizinkan dan meridhoi aku untuk merakit mimpi (kembali). Sesungguhnya mimpi itu besar karena usaha yang kita lakukan, bukan karena sejauh mana kita mampu memimpikan hal yang dianggap besar. Sekecil apapun mimpi kita, akan bisa sangat besar jika kita bersungguh-sungguh meyakini, menjalani dan mengusahakannya J

1 komentar: