Hari ini aku sempurna
dibuat sibuk menatap butiran salju yang mengembun di kaca jendela kampusku,
Universitat Innsbruck. Sulit untukku mempercayainya, ini bagiku bagaikan sebuah
mimpi. Saking tak percayanya aku merasa sangat takut, takut jika semua ini
memang hanyalah efek ilusi dari mimpi besarku. Dari dulu hampir semua orang
yang mengenalku menjuluki aku si “pemimpi besar”, yaa si pemimpi yang hanya
bisa terus bermimpi tanpa bisa mewujudkan mimpinya menjadi sebuah kenyataan. Menyedihkan
memang, aku berasa menjadi pecundang sejati.
Memiliki label
“pemimpi besar” atau merasa menjadi pecundang sejati, itu bukan berarti aku
hidup tanpa perjuangan, hanya bermalas-malasan lalu berharap hidupku akan
berubah jadi indah dengan sendirinya, berharap dunia terbalik dan menjadikanku
gadis tersukses dengan segudang prestasi sejagad raya. Bukan, sungguh bukan
begitu hari-hari dihidupku. Memiliki sebuah mimpi bagiku merupakan satu hal
yang istimewa, kenapa istimewa? Sederhana saja jawabannya karena dengan bermimpi
aku merasa hidup. Sesederhana ketika kalian flu, mendapatkan sedikit saja ruang
untuk menghirup udara, maka udara itu akan sangat membantu untuk nafas kalian yang
berikutnya meski hidung akan memerah, tapi setidaknya itu sudah cukup memicu
kalian untuk menghirup udara yang lebih banyak lagi. Begitulah mimpi, ketika
kalian merasa terjerembab dalam posisi paling bawah, saat dirasa tak ada lagi
yang dapat mengerti apa yang kalian rasakan, ketika merasa dunia semakin nyata
menunjukan kerikil kepedihan dan detik dimana kita meyakini bahwa semua orang telah
berubah, berubah menjauh. maka disanalah mimpi itu ada. Membuat kita mampu
merengkuh banyak hal dikemudian hari.
Keyakinan akan
mimpi besarku membuat aku yang hanyalah
seorang gadis pemalu, menjadi seorang gadis yang penuh semangat dengan bendera
optimisme dalam hati. Tubuhku yang kini aku bawa menginjak tanah di negeri
orang sungguh bukan karena aku pintar, cerdas atau karena hanya kebetulan
beruntung. Ini sempurna kebaikan Tuhan untukku atas mimpi-mimpi dan tentunya “usaha
besar”ku . sebenarnya semua berawal dari impianku untuk bisa memdapatkan
beasiswa yang memang sejak semester pertama aku masuk kuliah, sudah sangat aku
inginkan. Dari awal masuk kuliah aku mati-matian belajar demi mengejar IP
minimal 3,75 saat naik ke tingkat dua yang menjadi salah satu syarat untuk
memperoleh beasiswa itu. Hal baik pun terjadi, buah dari belajar mati-matianku,
IPku bulat 3,75. Aku sukses dipanggil untuk menjalani serangkaian tes beasiswa
karena memang yang Ipnya 3,75 bukan hanya satu atau dua orang saja, sedangkan
kuota yang ada untuk beasiswa itu hanya 10 kursi. Sukses?yaa aku sukses
dipanggil, tapi tidak ketika tes TOEFL.
TOEFL dibawah
standar seolah menjadi malapetaka untukku, perjuanganku, begadangku selamana
ini, semua terasa sia-sia. Tiba-tiba aku tersadar, itulah buah kesombonganku,
tak pernah mau jika disusruh ikut kursus TOEFL dengan alasan “lelah”. Sungguh mimpi
itu sesungguhnya tak mengenal lelah. Sepersekian detik setelah menyadari hal
bodoh yang menggugurkan mimpiku, aku pun meneteskan bulir air yang mebulat
tepat diatas meja belajarku. Aku akui saat itu semangatku runtuh, melangkahkan
kaki hanya karena aku manusia, tanpa mengerti untuk apa aku melangkah. Begitu seterusnya
hingga setengah semester aku lalui di semester tiga.
Pagi itu aku
ingat, amat sangat ingat setelah sebelumnya aku harus susah payah menuju
kampus, dua jam berkutat dengan macet. Untuk pertama kalinya seorang profesor
sekaligus guru besar mengajar dikelasku, profesor bertubuh tegap dengan sedikit
uban yang menyembul di sela-sela rambut hitamnya itu sempurna terlihat
bersahabat, terlebih senyumnya begitu hangat. Tapi bukan itu, bukan itu yang
lantas membuatku mengagumi sosoknya sebagai profesor sekaligus guru besar, malainkan
semangat serta kecerdasannya dalam memandang dunia. Dulu beliau sama sepertiku,
hanyalah seorang mahasiswa biasa, yang membedakannya dengan mahasiswa lain
adalah mimpi dan semangat yang ia miliki. Tiga jam perkuliahan benar-benar aku
telan matang-matang lalu kucerna baik-baik kedalam otakku, banyak yang beliau
ceritakan terlebih mengenai salah satu universitas ternama di austria,
universitat innsbruck. Keindahan gunung alpen yang menjulang cantik sebagai
latar kampus itu, yang beliau ceritakan sekaligus gambarkan melalui foto,
sungguh membuat hatiku bergetar, hingga semburat mimpi mulai terbit “Kelak aku
yang akan ada disana”. Tak lama selongsong kata-kata beliau pun menjadi sangat
amat melekat dalam otakku “Anything is Posible”. Itulah kunci mimpiku
berikutnya. Di hari itu juga aku memohon, memohon pada Tuhan agar mengizinkan dan
meridhoi aku untuk merakit mimpi (kembali). Sesungguhnya mimpi itu besar karena
usaha yang kita lakukan, bukan karena sejauh mana kita mampu memimpikan hal
yang dianggap besar. Sekecil apapun mimpi kita, akan bisa sangat besar jika
kita bersungguh-sungguh meyakini, menjalani dan mengusahakannya J