Jauh sebelum aku ada disini, dikota
ini, Innsbruck, Austria. Aku ingat hari itu, hari dimana Tuhan mempertemukanku
dengannya. saat itu rintik hujan dengan centilnya menari membasahi kerudung
merah mudaku, setelah susah payah menyeruak rinai hujan dan menghindari
kubangan air, akhirnya aku sampai juga di stasiun kereta dekat kampusku. Setibanya
di stasiun, aku malah harus menerima kabar bahwa saat itu, kabel listrik yang
mengaliri pasokan listrik Kereta Rel Listrik atau KRL putus akibat diterpa
angin kencang yang datang bersamaan dengan hujan lebat, alhasil aku yang sudah
terlanjur basah kuyup, memutar haluan mencari kendaraan alternatif lain untuk
pulang kerumah. Nasib baik hari itu aku sedang tidak sendirian, ada Rara yang
memang sudah terbiasa naik kendaraan umum lainnya selain kereta. Akhirnya aku
dan Rara pun memutuskan untuk beralih naik bis dan darisanalah semuanya bermula,
pertemuan itu. Sebelum sempat keluar stasiun menuju terminal bis, aku
berpapasan dengannya, laki-laki yang pada akhirnya aku tahu bahwa ‘dia ‘ adalah
sahabat lama Rara. Kebetulan rumahnya satu arah dengan rumahku dan Rara, maka
jadilah hari itu kami bertiga, aku, Rara dan ‘dia’ pulang bersama dengan
menaiki bis. Sepanjang perjalanan aku banyak bertukar cerita dengannya,
sementara Rara yang berdiri sedikit jauh dari aku dan ‘dia’, terlihat sangat
lelah, jadi Rara lebih memilih untuk diam dan sedikit-sedikit memejamkan
matanya ketimbang mengobrol denganku dan sahabat lamanya itu. Entah ada apa
denganku saat itu, ketika mata dengan bola mata coklat pekatnya begitu hangat
menerima kehadiranku dan senyum yang selalu mengembang di wajahnya setiap kali
mendengarku bercerita, sungguh membuatku merasakan sesuatu, yang aku sendiri tidak
dapat menjelaskannya.
Terlepas dari pertemuanku dengannya
dihari itu, aku juga banyak mengetahui tentang dirinya dari Rara, sahabatku
yang sekaligus sahabat lamanya. Rara mengatakan padaku kalau laki-laki itu,
sahabat lamanya yang sempurna bisa membuat pipiku memerah jika aku mendengar
namanya disebut, sangatlah pintar dan cerdas. Rara juga bilang kalau ‘dia’
salah satu mahasiswa jurusan arsitektur dikampusku dan sebenarnya diakhir
semester dua dia juga mendapat kesempatan yang sama denganku untuk memperoleh
beasiswa unggulan kampusku, bedanya dia sukses lolos semua tes beasiswa itu,
sementara aku tidak. tapi lolos tes bukan berarti membulatkan keputusannya
untuk mengambil beasiswa tersebut, dia justru malah mengundurkan diri.
begitulah hidup, terkadang disaat kita sangat menginginkan sesuatu, sesuatu
yang kita inginkan tersebut malah tidak bisa kita gapai atau kita dapatkan,
namun sebaliknya, kadang kala dalam hidup kita ada juga seseorang yang tidak
begitu menginginkan sesuatu yang teramat kita inginkan itu, tapi justru dialah
yang berhasil menggapai atau mendapatkannya. Marah? Yah itu pasti yang kalian
rasakan pertama kali, menganggap seseorang itu tidak bersyukur dengan apa yang
sudah ia dapatkan, hmm padahal jika kita mau sedikit berpikir, tidak semua apa
yang kita anggap baik juga baik menurut Tuhan, ada masanya dimana yang menurut
kita buruk adalah yang terbaik untuk kita, karena sungguh hanya Tuhanlah yang
maha mengetahui.
Sejak pertemuanku dengannya di hari
itu, aku jadi sering sekali bertemu dengannya, padahal sebelum hari pertemuan
itu, aku tidak pernah sama sekali melihat wajahnya dikampus, entah karena aku
yang tidak menyadarinya atau entah apakah ada skenario tertentu yang sedang
Tuhan siapkan dibalik itu semua. Yang jelas pertemuanku di stasiun dengannya
ketika angin dan hujan lebat sukses memutuskan kabel aliran listrik kereta,
sempurna membuat aku dan ‘dia’ semakin dekat. Aku dan ‘dia’ jadi sering pulang
pergi bersama ketika kuliah, tidak hanya itu saja, akupun banyak belajar
darinya. ‘dia’, laki-laki yang tidak sengaja dipertemukan denganku, ternyata
selain berstatus sebagai mahasiswa, juga berstatus sebagai seorang freelancer
di sebuah perusahaan besar Ibu kota. Hebat?yaa sangat hebat, ditengah
kesibukannya kuliah, dia masih bisa membagi waktunya untuk bekerja, demi
menutupi biaya kuliahnya. Sebenarnya dia tidak berasal dari keluarga sederhana
atau malah menengah bawah, melainkan sebaliknya. Ayahnya seorang pengusaha
pemilik toko meubel terbesar dikotaku, sementara ibunya adalah pemilik butik
yang menjadi salah satu langganan para artis Ibu kota. Tadinya aku sempat
heran, kenapa ‘dia’ mau bersusah payah bekerja untuk membiayai kuliahnya,
padahal jika dia mau, orang tuanya tidak hanya sanggup untuk membiayai
kuliahnya tapi juga sanggup membelikannya mobil mewah keluaran terbaru. Hanya
satu jawabannya untuk itu semua “Aku ingin menaklukan dunia, bukan dunia yang
menaklukan aku”. Yaa jika dia menyerah dengan gelimang harta yang dimiliki
kedua orang tuanya, maka dunia sempurna menaklukannya.
Bukan itu saja pelajaran yang bisa
aku dapatkan darinya, karena aku juga dapat belajar tentang bagaimana
menghargai seseorang dari dirinya. Kau tahu?sejak aku bertemu dengannya tidak
pernah sedikitpun dia menatapku tajam, layaknya pandangan laki-laki yang sedang
dekat dengan seorang perempuan, aku hanya bisa tahu bahwa dia menerima
kehadiranku dengan hangat dari sedikit tatapan matanya ketika tersenyum padaku,
tatapan mata yang bahkan kurang dari lima detik. Setelah itu dia seperti enggan
menatap mataku lama-lama. Belakangan aku tahu dari Rania, itu ‘dia’ lakukan
demi menjaga kesucian para perempuan yang ia kenal ataupun tidak dari pandangan
nista, pandangan yang tidak seharusnya ada. Soal kenapa dia selalu menawariku
untuk pulang atau pergi kuliah bersama, itu tidak lebih hanya karena ia juga
ingin menjagaku, karena memang jadwal kuliah yang mengharuskanku berangkat pagi
dan pulang malam, membuatku rentan mengalami tindak kejahatan. Setelah
mengetahui lebih banyak tentang ‘dia’, entah kenapa perasaan itu justru semakin
kuat aku rasakan, perasaan yang sempurna membuat dadaku sesak setiap kali
bertemu dengannya. Tuhan, sungguh jangan biarkan perasaan ini tumbuh sebelum
waktunya.
Tidak terasa hampir enam semester
aku lalui. Aku ingat ketika itu aku mengikuti seleksi beasiswa kembali, kali
ini seleksi beasiswa yang diadakan oleh kedutaan luar negeri Indonesia, saat
itu aku mengikuti beasiswa tersebut berdua dengan ‘dia’, ‘dia’ yang selama
hampir enam semester selalu ada untuk memberiku semangat dan pelajaran. Di hari
itu akhirnya aku pun tahu, kenapa dulu dia mengundurkan diri dari beasiswa
unggulan kampusku, itu semua karena dia ingin fokus pada beasiswa kedutaan luar
negeri itu, karena mimpinya memanglah menuntut ilmu di salah satu universitas
favorit di Melbourne, Australia, Monash University. Sebenarnya aku sedikit
sedih ketika mengetahuinya, bagaimana tidak? aku akan terpisahkan oleh jarak
yang sangat jauh dengannya jika kami sama-sama lolos seleksi beasiswa itu,
karena aku memilih untuk melanjutkan kuliahku dengan beasiswa tersebut di
Innsbruck, Austria. Cara kami dalam menuntut ilmu boleh berbeda, dia memilih
arsitektur sementara aku psikologi, dia memilih Australia sedangkan aku
Austria, dia memilih Monash University dan aku Universitat Innsbruck, tapi aku juga
‘dia’ punya satu tujuan yang sama yaitu bisa memberikan ilmu kami untuk
menumbuhkan semangat dan kehidupan yang lebih baik untuk saudara-saudara kami
di gaza, Palestina. Walaupun lagi-lagi dengan cara yang berbeda, jika dia ingin
membangun kamp pengungsian yang jauh lebih layak dengan sistem sanitasi yang
baik dan paling tidak bisa membangun sebuah Rumah Sakit sederhana disana, aku
ingin setidaknya bisa menenmani para anak-anak yang telah kehilangan ayah, ibu,
sudara atau bahkan bagian dari tubuh mereka untuk sekedar menumbuhkan motivasi
mereka. Aku tahu mereka memanglah sangat kuat, tapi nyatanya mereka masihlah
anak-anak, dimana tidak seharusnya hal-hal keji dan mengerikan sudah harus
mereka hadapi dan telan didalam memori mereka. Aku ingin berbagi pada mereka,
membacakan mereka dongeng sebelum tidur, mengajak mereka bermain dan tentunya
bersama-sama melantunkan ayat suci Al-Qur’an. Sungguh semoga Tuhan memudahkan
kami.
Setelah aku selesai menjalani tes
beasiswa, aku mampir sebentar ke kostan Rara untuk sekedar sedikit bercerita.
Ketika itu lagi-lagi aku tahu tentang ‘dia’ yang tidak aku ketahui tapi Rara
ketahui. Saat semester satu dulu, ‘dia’ pernah mengatakan pada Rara bahwa ‘dia’
menyukai teman sekelasnya, tapi ‘dia’ belum berani untuk mengutarakan
perasaannya, meski dia tahu gadis itu juga menyukainya, alasannya selain karena
dia tidak ingin pacaran, juga karena gadis yang ‘dia’ sukai itu belumlah berhijab,
menurutnya hijab adalah usaha seorang wanita untuk menjaga kesuciannya, maka
dari itu dia ingin gadis yang dia sukai itu menetapkan hatinya dulu untuk
berhijab, baru memantapkan perasaannya untuk ‘dia’. Jujur seketika itu hatiku
seperti dihujami ratusan jarum kecil, begitu sakit. Hari itupun aku bertanya
dalam hati “Apakah hingga kini gadis itu masih ada dihatinya?”.
Waktu berjalan begitu cepat, genap
delapan semester berhasil aku lalui. Aku lulus dengan nilai yang amat memuaskan,
begitupun dengan ‘dia’. Tepat satu hari setelah aku dan ‘dia’ di wisuda, kami
menerima kiriman amplop berwarna coklat dengan garis berwarna merah, putih dan
biru di pinggirnya. Yaa amplop itu adalah surat yang menyatakan bahwa kami
berhasil lolos seleksi beasiswa dan kami sukses mendapatkan beasiswa yang kami
inginkan. Sebenarnya ketika itu aku tidak tahu apakah aku harus senang atau
tidak, karena itu berarti hari perpisahanku dengnnya akan semakin dekat. Tapi
karena impianku adalah bisa menuntut ilmu dengan beasiswa yang aku dapatkan
karena usahaku sendiri, maka bulatlah pikiranku untuk sempurna hanya memikirkan
hal yang dapat aku rengkuh dimasa masa depan nanti, bukan memikirkan ‘dia’ dan
perasaanku yang masih belum menemui kejelasan. Karena hidupku menyangkut orang
banyak, bukan hanya menyangkut hati atau perasaanku padanya saja. Dan
perpisahan itupun sempurna terjadi. Burung besi membawaku terbang ke Austria,
sementara ‘dia’ dibawa terbang ke Australia.
Tidak terasa dua tahun sudah aku
jalani, sarjana magisterpun berhasil aku sandang di Innsbruck. Selama dua tahun
itu pula aku sukses dibuat kehilangan kontak dengan ‘dia’, tapi lagi-lagi aku
berpikir, untuk apa kini aku memikirkannya lagi, untuk apa kini aku mengingat
kenangan itu lagi, bukankah belum tentu kini dia sedang memikirkan dan
mengingatku yang sedari dulu kami bertemu hingga sekarang mungkin aku masih
menjadi seorang sahabat baginya, tidak ada perasaan lebih darinya untukku. Jika
kini aku memikirkannyapun, maka itu hanya sebatas perasaan seorang sahabat yang
mengkhawatirkan keadaan sahabatnya yang jauh disana, karena biar bagaimanapun
kami pernah berjuang bersama untuk menggapai mimpi kami masing-masing. Dua
tahun tanpa kabar, bukan berarti aku berhenti melanjutkan hidup, sebab ini kehidupan
bukanlah sebuah sinetron. Lima bulan setelah pulang ke Indonesia aku memutuskan
untuk membangun sebuah klinik psikologi, ini tidak lepas dari backgroundku yang
memang seorang sarjana psikologi dengan sub jurusan Clinical Child Pychology. Sukses
berkarir di klinik tidak lantas membuatku lupa dengan impian besarku untuk bisa
ke Gaza, Palestina. Setahun berkarir, akupun memutuskan untuk pergi menjadi
relawan ke Gaza, dengan bekal ilmu yang kupunya aku berharap Tuhan selalu
menyertai dan melindungiku.
Hari itu akhirnya aku sampai di
gaza, setelah sebelumnya aku melewati perjalanan yang terasa amat panjang dan melelahkan,
sebab bukan hanya gelombang laut atau cuaca buruk yang aku temui diperjalanan,
tapi juga gelombang ancaman dan todongan senjata api. Terlepas dari itu semua,
aku bersyukur karena hari itu Tuhan mengizinkanku untuk menginjakan kaki di
Gaza. Akupun segera bertindak cepat, ketika itu aku diberi tugas menjaga
anak-anak di salah satu bangsal Rumah Sakit Gaza yang saat itu memang sedang
banyak mendapat gempuran. Sampai akhirnya kami para relawan dari berbagai
negara sepakat untuk memindahkan para anak-anak tersebut ke tempat yang lebih
aman, keluar rumah sakit. Dengan sigap aku mengevakuasi anak-anak dengan
bermacam kondisi, mulai dari yang kehilangan kaki hingga yang kehilangan kedua
matanya akibat serangan membabi buta. Hari itu aku sempat lega karena telah
berhasil mengevakuasi seluruh anak-anak ketempat yang jauh lebih aman, tapi
seketika semuanya berubah saat kulihat kedua teman relawanku memegangi erat
tubuh seorang anak perempuan berusia sekitar tujuh thaunan yang terus menjerit
histeris karena ternyata boneka kesayangannya, boneka peninggalan Almarhumah
ibunya terjatuh tepat dipintu keluar rumah sakit. Tanpa pikir panjang akupun
berlari secepat mungkin menuju rumah sakit, sambil berharap lariku akan jauh
lebih cepat ketimbang rudal yang akan menghujam rumah sakit tersebut. Namun apa
daya, rudal biadab itu sempurna mendahuluiku saat aku sudah tepat kira-kira tiga
meter dari rumah sakit. Splassshhh!!!. Seketika tubuhku terasa remuk, kepalaku
seperti terkoyak, bau mesiu menyengat penciumanku, dadaku sesak, pengelihatanku
kabur. Saat itu aku memohon agar Tuhan menguatkanku, hingga datang seorang
laki-laki dengan masker yang menutupi sebagian wajahnya menghampiriku,
menggendong tubuh lemahku. Sungguh meski pengelihatanku saat itu kabur, tapi
aku lihat dan aku ingat, laki-laki itu memiliki mata yang sama dengan ‘dia’,
bola mata coklat besar yang terlihat begitu hangat. Tuhan apakah mungkin itu ‘dia’?.
Sekejap setelah itu semua gelap.
Beberapa jam kemudian aku tersadar.
Tubuhku teramat sakit bila digerakan terutama pada bagian tangan sebelah kiri.
Dokter mengatakan hampir seluruh tubuhku dipenuhi serpihan material bangunan
akibat ledakan rudal dan yang paling parah terkena adalah tangan sebelah kiri,
bahkan dokter nyaris saja mengamputasinya, namun aku bernasib baik, karena
serpihan itu tak sampai masuk kedalam kulit bagian dermisku, luka yang adapun
tidak sampai menginfeksi sehingga lukaku meski parah, masih bisa untuk diobati.
Aku lega, sungguh sangat lega. Tapi lagi-lagi aku teringat mata itu, siapa
sebenarnya yang ada dibalik masker itu, akupun berharap semoga Tuhan menunjukan
jalan bagiku.
Menjalani perawatan di kamp
pengungsian membuatku bosan dan merasa tidak berguna, hanya berbaring ditempat
tidur tanpa melakukan apapun, sungguh bukan itu tujuanku berada disini saat
itu. Akhirnya setelah seminggu menjalani perawatan, aku meminta perawat
membantuku duduk di kursi roda, akupun berkeliling dan bermain bersama
anak-anak dipengungsian, membantu menyiapkan makanan di dapur umum dan
membagikannnya pada pengungsi, seolah lupa dengan kejadian satu minggu yang
lalu. Ketika semua selesai, sehabis Isya aku membawa tubuhku dengan kursi roda
ke tepi tebing dekat tenda-tenda pengungsian, perlahan aku hirup udara malam
dan berharap semua akan baik-baik saja, aku yakin sepanjang niat kita baik,
maka akan selalu ada jalan menuju seribu kemudahan. Malam itu aku ingat, sangat
ingat, ketika teman relawanku mengatakan ada seorang arsitek dari Indonesia
yang akan membangun kamp pengungsian baru, temanku juga mengatakan bahwa
laki-laki itulah yang sudah menolongku dari ledakan rudal di rumah sakit, sambil
mengarahkan jari telunjuknya ke arah barat, agak sedikit jauh dari pengungsian,
tepat dimana seseorang yang ia maksud berada. Laki-laki dengan celana coklat
serta baju putih lengkap dengan rompi safari coklatnya.
Malam itu tanpa kuduga, situasi
kembali mencekam, rudal-rudal, bom dan lainnya semakin hingar-bingar membalut
kegelapan malam itu. Jelas yaa sangat jelas, tepat ketika sebuah bom membelah
gelapnya langit malam, semburat cahayanya sempurna memperlihatkan wajah
laki-laki itu, wajah laki-laki dimana delapan tahun yang lalu sempurna
menyeruak dalam hatiku. Ingin aku menyapanya, namun belum sempat aku
menyapanya, teman relawanku dengan sigap mendorong kursi rodaku menjauh
darinya. “Dasar bodoh, apa kali ini kau sudah benar-benar ingin mati ha?!”.
Ucapnya dengan nada tinggi, karena memang rudal-rudal itu semakin mengincar
kami di pengungsian. Akupun kembali kehilangannya. Sampai semburat cahaya
lagi-lagi memperlihatkan keberadaannya, meski kali itu aku hanya bisa melihat
sebatas punggung berbalut rompi safari coklatnya saja, karena memang ‘dia’ berada jauh di depanku saat itu. ‘dia’
bukannya lari menyelamatkan diri, justru menentang maut dengan menghampiri
pusat terjadinya ledakan akibat rudal. Akupun berusaha memanggil namanya
sekeras mungkin yang aku bisa, tapi terlambat. Splassshhh!! Semburat cahaya
kembali muncul, sepersekian detik saja, rudal menghantam daerah dekat tubuhnya
berada. Tuhan lindungi ‘dia’, selamatkan ‘dia’, sungguh Tuhan aku sanggup dengan
rasa sakit disekujur tubuhku ini, tapi aku tidak akan sanggup jika harus
melihat tubuhnya terkulai kaku penuh luka dan detak jantungnya tak dapat lagi
kudengar justru dihari ketika aku menemukannya kembali, Muas Albany.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar